TOPMEDIA – Insiden pembakaran Gedung Negara Grahadi sisi barat pada Sabtu (30/8) lalu tidak hanya menyisakan duka, tetapi juga memicu perdebatan penting tentang bagaimana seharusnya sebuah bangunan cagar budaya direstorasi.
Para ahli konservasi pun menekankan bahwa perbaikan harus dilakukan dengan prinsip yang tepat agar sejarah yang terkandung di dalamnya tidak hilang begitu saja.
Timoticin Kwanda, dosen Teknik Arsitektur Petra Christian University (PCU) Surabaya yang juga pakar di bidang konservasi arsitektur, mengaku sangat prihatin dengan aksi pembakaran dan perusakan Gedung Negara Grahadi sisi barat.
Ia menjelaskan bahwa Gedung Negara Grahadi adalah cagar budaya yang memiliki nilai sejarah tinggi bagi Kota Surabaya dan dilindungi oleh undang undang. Karena itu, gedung yang dibangun pada abad ke-18 ini menjadi aset berharga yang harus dijaga bangsa dan negara.
“Gedung Negara Grahadi dilindungi secara hukum,” tegas Timoticin merujuk pada Permen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif SK no. PM.23/PW.007/MKP/2007 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Menurut dia, pasal 101 dalam undang-undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa perusak cagar budaya dapat dijerat hukuman pidana hingga 5 tahun penjara atau denda Rp1,5 miliar. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya perlindungan hukum terhadap bangunan bersejarah.
Menurut Timoticin, proses restorasi Gedung Negara Grahadi harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan berdasarkan prinsip konservasi yang benar.
Langkah pertama adalah dokumentasi kerusakan secara menyeluruh. Setelah itu, perbaikan harus dilakukan dengan prinsip minimum intervensi. Artinya, material asli yang masih bisa dipertahankan harus tetap digunakan.
Namun, untuk bagian yang sudah rusak parah dan harus diganti, Timoticin memiliki pandangan khusus. Ia menegaskan bahwa material pengganti tidak boleh sama persis atau hanya replika dari yang lama.
“Material yang baru harus sesuai dengan zamannya, namun dibuat berbeda agar masyarakat dapat membedakan mana material asli dan mana yang baru,” pungkasnya.
Menurut dia, prinsip ini sangat penting untuk menjaga integritas sejarah bangunan. Dengan membedakan material asli dan material baru, maka proses restorasi tidak menyembunyikan “luka” sejarah. Melainkan justru menunjukkannya sebagai bagian dari cerita bangunan itu sendiri.
Hal ini memastikan bahwa Grahadi tidak hanya kembali ke bentuk fisiknya, tetapi juga tetap menjadi saksi bisu yang jujur bagi generasi mendatang. (*)