MALAM itu, meja makan keluarga yang biasanya hangat berubah menjadi arena pertarungan.
Mama duduk diam, wajahnya pucat, sementara Papa sibuk menyalakan rokok satu demi satu. Asap memenuhi ruangan yang membuat suasana semakin pengap.
Bram yang sejak awal menahan diri akhirnya tak bisa lagi menutup mulut.
“Pa, dengarkan kami! Ini bukan lagi gosip, ini sudah penyelidikan resmi. Rekening perusahaan diawasi, proyek dibekukan. Kalau Papa terus keras kepala, Brajantara Construction akan mati di tangan Papa sendiri!”
Papa membalas dengan nada keras, suaranya bergetar menahan marah.
“Kalian semua tidak tahu apa-apa! Papa yang bangun perusahaan ini dari nol. Papa yang tahu bagaimana cara bertahan di dunia politik kotor ini. Kalau kalian tidak bisa ikut, lebih baik minggir!”
Bruno langsung berdiri, kursinya terjungkal ke belakang.
“Minggir? Kami anak-anak Papa! Kami yang berjuang di lapangan, menahan malu ketika wartawan mengejar, ketika nama kita dicaci. Dan sekarang Papa menyalahkan kami?”
Mama akhirnya angkat bicara. Suaranya lirih tapi penuh luka.
“Papa, aku menemanimu sejak awal, ketika kita hanya punya kontrakan kecil, ketika makan harus hemat. Aku percaya padamu. Tapi hari ini, aku merasa tidak lagi mengenal siapa kau sebenarnya.”
Air matanya mulai menetes tanpa bisa ia tahan.
Keheningan itu hanya sebentar, karena Broto yang biasanya paling diam akhirnya pecah juga.
“Aku lelah. Aku tidak mau jadi anak anggota DPR yang disebut koruptor! Aku tidak mau nama kita dicatat sebagai pelaku pencucian uang! Aku lebih baik keluar dari perusahaan ini!”
Ruangan bergemuruh. Papa menatap Broto dengan mata merah, wajahnya penuh amarah. “Kamu berani melawan Papa?”
Aku, Brina, tak sanggup lagi menahan tangis.
“Berhenti! Kita keluarga, tapi lihat apa yang politik lakukan pada kita. Papa, sadarilah. Bukan musuh dari luar yang menghancurkan kita. Kita sendiri yang saling merobek.”
Malam itu, keluarga Brajantara benar-benar retak. Darah tidak lagi lebih kental daripada ambisi, dan cinta tidak lagi mampu mengikat luka.
Di luar rumah, sorot lampu kamera wartawan masih menunggu. Di dalam rumah, kepercayaan yang dulu menjadi fondasi, runtuh dalam sekejap.
(Bersambung)