BEBERAPA bulan setelah Papa resmi duduk di kursi DPR, gosip mulai berhembus. Media lokal menulis bahwa ada proyek infrastruktur pemerintah yang sarat dengan praktik suap. Nama Brajantara Construction muncul di beberapa artikel, meski hanya sebagai “kontraktor yang diduga dekat dengan pejabat tertentu.”
Awalnya, kami menganggap itu hanya isu politik. Tapi, keadaan berubah ketika aparat mulai bergerak.
Suatu sore, polisi dari Direktorat Tindak Pidana Korupsi datang ke kantor pusat dengan membawa surat resmi tentang permintaan dokumen keuangan perusahaan selama lima tahun terakhir. Karyawan panik, suasana kantor berubah mencekam.
Bram langsung menegur Papa di ruang kerjanya. “Pa, ini sudah serius! Mereka mencurigai ada aliran dana yang tidak wajar. Jangan lupa, money laundering itu tindak pidana. UU Nomor 8 Tahun 2010 bisa menjerat siapa saja tanpa pandang bulu.”
Papa hanya menyandarkan diri di kursi, wajahnya tetap tenang. “Jangan panik. Dalam politik, yang terpenting bukan benar atau salah, tapi siapa yang punya kekuatan lebih besar. Selama partai mendukung, kita aman.”
Bruno menepuk meja keras. “Pa, ini bukan soal partai. Kalau aliran dana mencurigakan terbukti, rekening bisa diblokir, proyek bisa dihentikan. Perusahaan ini bisa mati sebelum kita sempat bertarung di pasar!”
Aku, Brina, hanya duduk diam di pojok ruangan. Mama ada di sebelahku, menunduk dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. Ia tidak sanggup lagi menatap Papa yang semakin terjerat ambisi politiknya.
Malam itu, berita di televisi menayangkan headline: “Dugaan Pencucian Uang Seret Nama Perusahaan Besar di Jawa Timur.”
Tidak disebutkan secara gamblang, tapi semua orang tahu arah tuduhannya. Telepon dari rekan bisnis berdatangan, beberapa proyek bahkan langsung dibekukan.
Aku tahu, bayangan politik sudah benar-benar menjerat bisnis keluarga kami. Dan kali ini, tidak ada lagi jalan mundur.
(Bersambung)