HARI-hari setelah sidang itu terasa seperti menunggu vonis mati. Seluruh keluarga hidup dalam ketegangan.
Papa lebih banyak diam, seakan semua tenaga habis karena harus menghadapi aib masa lalu yang muncul ke permukaan.
Mama berusaha tetap sabar, meski jelas aku bisa melihat wajahnya semakin pucat dari hari ke hari.
Di meja makan, suasana selalu hening. Suatu malam Bram tak tahan lagi dan meledak, “Papa, kalau hasil tes DNA itu benar, apa yang akan Papa lakukan? Apa Papa akan membiarkan saham perusahaan kita jatuh ke tangan orang lain?”
Papa menatapnya lama, lalu berkata lirih. “Kalau memang benar dia anak saya, saya tidak bisa lari dari tanggung jawab.”
Kata-kata itu membuat Mama terisak. Bruno langsung menepuk meja, “Tanggung jawab? Lalu bagaimana dengan tanggung jawab Papa pada Mama, pada kami yang sejak kecil ikut berjuang membesarkan perusahaan ini? Sekarang tiba-tiba muncul orang ketiga dan semuanya kacau!”
Aku hanya bisa menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh.
Di luar rumah, tekanan semakin besar. Media lokal memberitakan sengketa keluarga Brajantara di halaman depan.
“Sengketa Waris Mengancam Bisnis Konstruksi Terbesar di Surabaya,” begitu salah satu judul yang membuatku nyaris tak sanggup membuka koran.
Telepon dari klien proyek pun berdatangan, menanyakan kebenaran rumor yang beredar. Beberapa kontrak besar bahkan mulai ditunda karena investor takut ada masalah hukum berkepanjangan.
Mama mencoba menenangkan kami semua. “Kebenaran akan terlihat. Kalau anak itu memang bukan darah Papa, kita tak perlu takut. Yang penting kita hadapi dengan kepala dingin.” Suaranya tenang. Tapi aku tahu di balik itu, hatinya hancur.
Hari pengumuman hasil tes DNA semakin dekat. Setiap detik terasa panjang. Kami semua tahu apapun hasilnya akan mengubah segalanya, bukan hanya hubungan keluarga, tapi juga nasib Brajantara Construction yang sudah dibangun dengan keringat selama puluhan tahun.
(Bersambung)