SIDANG terakhir itu terasa seperti napas terakhir dari keluarga kami. Ruang sidang penuh wartawan dan pengacara.
Aku, Brina, duduk dengan tangan bergetar. Di seberang, Bram tampak dingin, tatapannya penuh kebencian.
Hakim memulai persidangan dengan suara tegas.
“Setelah menimbang bukti dan keterangan saksi, pengadilan memutuskan…”
Waktu seolah berhenti.
“…bahwa Tuan Bram Bramantarana bersalah melakukan penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi dokumen kepemilikan. Hak kepemilikan saham mayoritas dialihkan sementara kepada Nona Brina Bramantarana sebagai pelaksana tanggung jawab perusahaan, sampai restrukturisasi selesai.”
Seisi ruang sidang riuh. Aku memejamkan mata, lega tapi hancur di dalam. Bram menatapku dengan kemarahan bercampur sakit hati, lalu berjalan keluar tanpa sepatah kata pun.
Hari-hari berikutnya seperti menutup lembaran lama yang penuh luka.
Bram memilih pergi ke luar kota, menolak semua komunikasi.
Investor perlahan kembali percaya setelah melihat transparansi laporan keuangan baru.
Para karyawan yang sempat goyah akhirnya berdiri di sisiku, membangun ulang reputasi perusahaan.
Tapi di rumah, suasana tak pernah sama lagi. Ayah lebih banyak diam, Ibu sering menangis diam-diam.
“Brina… kamu menang, tapi kita juga kalah,” ucap Ayah suatu malam.
Aku tahu maksudnya. Menang di bisnis, kalah di keluarga.
Beberapa bulan kemudian, aku menerima email dari Bram. Isinya singkat:
“Brin, aku salah. Tapi aku terlalu gengsi untuk mengaku di depan semua orang. Jaga perusahaan ini baik-baik. Aku butuh waktu untuk maafkan diriku sendiri.”
Air mataku menetes. Mungkin suatu hari kami bisa berdamai, tapi luka ini terlalu dalam untuk cepat sembuh.
Kini, setiap kali aku melewati pabrik keluarga yang berdiri tegak, aku teringat perjalanan panjang ini. 30 tahun kerja keras keluarga hampir hancur bukan karena pesaing, tapi karena keserakahan sendiri.
Dari semua yang terjadi, aku belajar satu hal: Bisnis keluarga bukan hanya tentang uang dan warisan. Kalau ego dan keserakahan dibiarkan, darah yang sama bisa menjadi racun.
Di hadapan karyawan, aku berkata dengan suara mantap:
“Kita tidak hanya membangun bisnis. Kita membangun kepercayaan. Dan, kepercayaan itu lebih berharga dari harta apa pun.”
Kisah ini berakhir dengan bisnis yang selamat, tapi meninggalkan luka yang akan lama sembuhnya.
Namun aku yakin, dari puing-puing keserakahan, lahir tekad baru. Tekad untuk menjaga warisan keluarga bukan dengan ambisi, tapi dengan kebersamaan dan kejujuran.
(Tamat)