SEJAK rapat darurat itu, suasana kantor berubah drastis. Bram tak lagi memamerkan senyumnya yang arogan. Sebaliknya, ia mulai bermain licik.
Aku, Brina, tahu ia tidak akan tinggal diam setelah harga dirinya dijatuhkan di depan keluarga dan investor.
Dua hari setelah rapat, kabar mengejutkan datang dari manajer keuangan.
“Bu Brina, beberapa rekening perusahaan tiba-tiba dibekukan. Ada laporan dugaan penyelewengan, dan anehnya, nama Ibu yang dilaporkan.”
Darahku berdesir. “Apa?!”
Aku langsung menebak siapa dalangnya. Bram ingin membalik keadaan dan membuatku terlihat bersalah.
Dalam sehari, gosip mulai menyebar di antara karyawan. Beberapa menatapku dengan ragu, seolah percaya bahwa aku yang mencuri uang perusahaan.
Sore itu, Bram muncul di kantorku dengan wajah penuh kemenangan.
“Gimana rasanya, Brin, kalau semua orang nggak percaya sama kamu?” katanya santai sambil duduk di kursiku.
“Mas, berhenti main kotor. Ini bisnis keluarga!” balasku dengan suara meninggi.
Bram tersenyum miring.
“Ini perang, Brin. Kamu yang mulai. Kamu pikir investor akan percaya sama perempuan emosional kayak kamu?”
Hatiku panas, tapi aku tahu melawan dengan emosi bukan solusinya. Aku mengambil napas panjang.
“Mas, aku punya bukti. Cepat atau lambat, kebenaran akan keluar. Dan kalau bisnis ini hancur, nama Mas yang akan tercatat sebagai penyebabnya.”
Bram berdiri, menepuk bahuku dengan tatapan meremehkan.
“Kita lihat saja, siapa yang terakhir tertawa.”
Malam itu, aku bertemu Reno dan Lila di kantor hukum. Reno mendengarkan ceritaku dengan tenang.
“Ini taktik klasik. Dia mencoba mem-framing kamu sebagai pihak bersalah agar investor panik dan menyerahkan kendali penuh padanya,” jelas Reno.
“Kalau begitu, apa yang harus kulakukan?” tanyaku, menahan amarah dan rasa takut.
“Kita balas dengan bukti lebih kuat. Aku sarankan kita ajukan laporan resmi soal penyalahgunaan wewenang Bram ke pengadilan. Sekaligus klarifikasi publik kepada investor dan karyawan. Ini saatnya serangan balik.”
Aku terdiam sejenak. Menggugat kakak kandungku sendiri rasanya berat. Tapi jika aku menyerah, seluruh jerih payah keluarga dan karyawan setia bisa lenyap.
“Lakukan, Ren. Aku siap.”
Keesokan harinya, aku berdiri di depan seluruh karyawan di aula kantor.
“Teman-teman, ada banyak gosip yang beredar. Aku ingin kalian tahu, semua tuduhan yang diarahkan ke aku tidak benar. Semua laporan keuangan sudah diserahkan ke auditor independen. Kita akan buktikan kebenaran.”
Beberapa karyawan menatapku dengan mata berkaca-kaca, dan saat itu aku sadar jika aku tidak sendirian.
Di luar gedung, Bram memandangi dari mobilnya dengan ekspresi dingin.
Perang ini belum berakhir, tapi aku berjanji pada diriku sendiri: Aku tidak akan membiarkan keserakahan menghancurkan bisnis keluarga 30 tahun ini.
(Bersambung)