SEJAK rapat keluarga itu, suasana di rumah dan kantor menjadi dingin. Aku, Brina, merasa seperti orang asing di bisnis yang kubangun setiap hari.
Bram tetap bersikap seolah raja yang memberi perintah kepada karyawan tanpa benar-benar mengerti apa yang terjadi di lapangan.
Suatu sore, aku memeriksa laporan keuangan tahunan yang dikirim oleh tim akuntansi.
Ada sesuatu yang aneh. Pengeluaran untuk “entertainment klien” melonjak tiga kali lipat dibanding tahun lalu. Padahal, penjualan perusahaan sedang turun.
Kecurigaanku tumbuh. Aku pun memutuskan untuk memeriksa laporan keuangan lebih dalam.
Di folder laporan, ada bukti pembayaran untuk jam tangan mewah, paket golf, dan perjalanan ke Bali. Semuanya atas nama “biaya promosi.”
“Ini pasti ulah Bram,” gumamku.
Malam itu, aku menunggu semua karyawan pulang dan memeriksa dokumen fisik di kantor pusat.
Di salah satu laci, aku menemukan kontrak sponsor yang ternyata hanya ditandatangani Bram tanpa persetujuan direksi lain. Nilai uang keluar hampir setara dengan bonus tahunan karyawan.
Tanganku pun gemetar.
“Jadi ini yang disebut strategi oleh Bram? Menguras uang perusahaan untuk gaya hidupnya sendiri,” batinku.
Keesokan paginya, aku memutuskan bicara pada Ayah di rumah.
“Yah, aku punya bukti. Bram pakai dana perusahaan untuk kepentingan pribadi. Kalau ini dibiarkan, bisnis kita bisa runtuh.”
Mendengar penuturanku, Ayah terdiam lama. Wajahnya memucat.
“Ayah sudah lama curiga. Tapi, Ayah ingin percaya dia bisa berubah.”
Belum sempat kami lanjutkan pembicaraan, Bram muncul dengan ekspresi dingin.
“Kamu sekarang mata-matai aku, Brin?” suaranya meninggi.
“Aku nggak mata-matai. Aku jaga bisnis ini! Mas yang serakah. Semua uang perusahaan dipakai buat hidup mewah.”
Bram tertawa sinis.
“Kalau bukan aku yang nikmati, siapa lagi? Kamu? Kamu cuma perempuan yang kerja di belakang layar. Semua orang tahu, pemimpin perusahaan ini aku.”
Tak ayal, amarah bercampur kecewa membuncah di dadaku.
“Mas, kalau terus begini, bukan cuma aku yang akan melawan. Karyawan, investor, semua akan tahu siapa yang menghancurkan bisnis keluarga ini.”
Aku keluar dari rumah dengan hati bergetar. Tapi di kepalaku satu hal jelas: aku tidak bisa lagi diam.
Keserakahan kakakku tidak hanya mencuri hakku, tapi juga mengkhianati seluruh kerja keras Ayah, Ibu dan karyawan yang sudah seperti keluarga sendiri.
Di perjalanan pulang, ponselku bergetar. Lila mengirim pesan: “Kalau kamu siap lawan, aku kenal pengacara bisnis yang bisa bantu. Semua bukti harus diamankan.”
Aku menatap langit senja di luar jendela mobil.
Mungkin inilah awal pertempuranku yang sesungguhnya.
Karena jika aku tidak melawan, bisnis keluarga 30 tahun ini akan mati di tangan keserakahan kakak lelakiku, Bram.
(Bersambung…)