Scroll untuk baca artikel
TOP Legal Open House
TOP SAGU
TOP SAGU
TOP MEDIA
EDUTECH

Berawal dari Tanaman Hias di Pinggir Jalan, Begini Sejarah Perkebunan Kelapa Sawit yang Dituding jadi Biang Bencana di Sumatera

×

Berawal dari Tanaman Hias di Pinggir Jalan, Begini Sejarah Perkebunan Kelapa Sawit yang Dituding jadi Biang Bencana di Sumatera

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit di Sumatera. (Foto: dok. dsn.co.id)
toplegal

TOPMEDIA – Kelapa sawit kini menjadi komoditas pertanian paling dominan di Indonesia. Padahal, kelapa sawit atau Elaeis guineensis bukanlah tanaman asli Indonesia. Tanaman ini berasal dari Afrika Barat dan Afrika Tengah.

Di Indonesia, sejarah kelapa sawit berawal dari empat biji buahnya yang dibawa oleh Dr. D. T. Pryce. Masing-masing dua benih dari Bourbon, Mauritius, dan dua benih lainnya berasal dari Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda, pada tahun 1848.

HALAL BERKAH

Tak banyak yang menyadari sejarah panjang palm oil ini turut membentuk ekologis alam yang kini berkontribusi pada banjir yang melanda di beberapa wilayah di Sumatera.

Berikut ini jejak panjang kelapa sawit di Indonesia dirangkum dari berbagai sumber.

Sejarah kelapa sawit di Indonesia berawal pada 1848 saat botanis Belanda membawa empat bibit tanaman dengan nama ilmiah Elaeis guineensis tersebut dari Afrika Barat ke Kebun Raya Bogor, di Bogor, Jawa Barat.

Selama lima tahun setelah ditanam, kelapa sawit menghasilkan buah di Kebun Raya Bogor.

Biji-biji kelapa sawit itu kemudian disebar secara gratis, termasuk dibawa ke Sumatera pada 1875 untuk menjadi tanaman hias di pinggir jalan.

Baca Juga:  Guru SMPN 22 Surabaya Tampil di Konferensi Pendidikan Internasional Korea Selatan

Di Deli, Sumatera Utara, pertumbuhan sawit ini begitu pesat. Hal ini menarik perhatian pemerintah kolonial yang mulai menyadari potensi ekonominya seiring dengan penemuan teknologi pengolahan kelapa sawit.

Perubahan besar pun terjadi pada 1911, yang menandai titik balik dari estetika ke ekonomi. Di tahun itu, perkebunan komersial pertama kelapa sawit didirikan di Tanah Deli oleh para pengusaha perkebunan Belanda. Momen ini adalah kelahiran resmi era industri sawit modern di Indonesia.

Era Keemasan Kolonial: “Emas Hijau” dari Sumatera

Wilayah Sumatera dengan curah hujan tinggi dan iklim tropis yang ideal menjadi pusat perkebunan sawit yang masif. Pemerintah kolonial melihat sawit sebagai komoditas “emas hijau” yang menjanjikan keuntungan luar biasa.

Mereka pun menerapkan sistem perkebunan besar yang terorganisir, menggunakan tenaga kerja murah, dan mengadopsi teknologi pengolahan minyak kelapa sawit yang semakin efisien.

Perkebunan sawit tidak hanya berpusat di Deli, tetapi meluas ke berbagai wilayah subur di Sumatera seperti Aceh, Riau, dan sebagian Sumatera Selatan. Pada masa kolonial itu, minyak kelapa sawit dari Sumatera mulai mendominasi pasar dunia bersaing ketat dengan sawit dari Malaya (kini Malaysia).

Baca Juga:  Mahasiswi PCU Surabaya Sulap Sampah Plastik Jadi Interior Estetik nan Ramah Lingkungan

Setelah era kemerdekaan Indonesia, terutama setelah nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, maka kebun-kebun sawit Belanda diambil alih dan dikelola oleh negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PTPN.

Pada awalnya, ekspansi berjalan perlahan. Tetapi pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, sawit mengalami ekspansi yang tak tertandingi. Pemerintah memandang kelapa sawit sebagai instrumen kunci untuk pengentasan kemiskinan melalui program transmigrasi dan skema perkebunan rakyat (plasma).

Selain itu, sawit menjadi salah satu komoditas ekspor andalan yang menyumbang devisa terbesar bagi negara. Kemudian dalam beberapa tahun terakhir, sawit juga menjadi bahan baku penting untuk biodiesel (B30, B35), untuk mendukung program ketahanan energi nasional.

Namun demikian, ekspansi yang cepat dan masif dari perkebunan sawit ini, sayangnya seringkali dilakukan dengan mengorbankan hutan tropis alam Sumatera. Hutan-hutan primer yang lebat dan kaya keanekaragaman hayati dikonversi menjadi monokultur perkebunan sawit.

Baca Juga:  Diguyur Hujan Lebat, Banjir Hebat Terjang Bali

Di sinilah letak hubungan antara jejak sawit yang panjang dengan bencana alam, seperti banjir yang sering melanda beberapa wilayah di Sumatera. Hutan alam yang memiliki kemampuan luar biasa untuk menyerap dan menyimpan air hujan, ketika dikonversi menjadi perkebunan sawit, membuat daya serap airnya berkurang drastis karena sistem perakaran sawit yang berbeda dan praktik pembukaan lahan yang masif.

Di beberapa wilayah seperti Riau, perkebunan dibuka di atas lahan gambut. Untuk menanam sawit, lahan gambut harus dikeringkan melalui pembuatan kanal. Pengeringan ini tidak hanya memicu kebakaran hutan saat musim kemarau, tetapi juga memperburuk banjir saat musim hujan karena gambut yang kering kehilangan fungsi spons alaminya.

Dengan demikian, sejarah kelapa sawit di Sumatera adalah narasi ganda. Yakni kisah sukses ekonomi yang mengangkat Indonesia di kancah global, sekaligus cermin dari tantangan ekologis besar yang kini harus dihadapi berupa bencana alam dan degradasi lingkungan yang parah. (*)

TEMANISHA.COM